Saturday, July 2, 2022

KISAH DINDA Bagian 8 (Part 1)

 yang menyelinap melalui celah jendela kamarku, menyorot langsung ke arah wajahku. Seketika membangunkanku dari lelapnya tidur. Rasa hangat dari cahaya tersebut sangat terasa di pipi, menyadarkanku kalau matahari sudah meninggi. Suara kendaraan pun mulai terdengar lalu lalang di depan rumah.

Dengan mata yang masih susah terbuka, kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Rupanya aku ketiduran lagi setelah tadi subuh sudah sempat bangun. Aku pun kembali bangun dari tempat tidur untuk kedua kalinya pagi ini.

Setelah mengumpulkan nyawa di pinggiran tempat tidur, aku pun berdiri dan menatap pantulan tubuhku di depan cermin. Sebagai cewek yang sering merasa insecure, bercermin dan menatap tubuh sendiri adalah hal yang biasa dilakukan ketika bangun tidur. Entahlah, padahal dulu aku selalu cuek dengan penampilanku, tapi kini aku lebih sering memperhatikannya.

Di depan cermin, kurapikan rambutku yang acak-acakan setelah bangun tidur. Dengan kedua lengan yang kuangkat ketika mengikat rambut, membuat kedua payudaraku juga sedikit terangkat, seakan-akan ingin mencuat keluar dari tanktop berwarna coklat yang kini membungkusnya. Bukan buah dadaku yang oversize, hanya saja tanktopku yang memang memiliki belahan yang sangat rendah. Maka jia tanktopku ditarik ke bawah sedikit saja, maka aku jamin kedua putingku pun akan memnyembul keluar.

Sementara di bawah, sebuah bayang-bayang berwarna hitam nampak sekali terlihat tepat di tengah-tengah celana dalam berwarna peach yang tengah kupakai. Dengan beberapa helai rambut yang sedikit mencuat keluar melalui celah-celah kain celana dalamku, menunjukkan betapa lebatnya rambut kemaluanku ini. Sebenarnya aku sering mencukurnya, hanya saja tidak sampai tipis sekali. Paling aku hanya merapikannya untuk memastikan tidak ada rambut yang terlihat dari sisi-sisi celana dalamku.

Aku pun melepas celana dalamku tersebut, dan melemparnya ke arah tumpukan baju kotor yang ada di kamarku. Lalu dengan bottomless seperti ini, aku pun keluar kamar menuju kamar mandi yang berada tepat di depan kamarku. Dengan tanpa menutup pintu kamar mandi, langsung kutempelkan kulit pantatku ke pinggiran closet dan sejurus kemudian cairan keemasan mengucur deras dari lubang pipisku.

Dari posisi pipisku ini, aku dapat melihat langsung ke arah kamar Kak Naya yang memang bersebelahan dengan kamarku. Dimana aku dapat melihat ada sesosok wanita tanpa busana sedang tertidur pulas di atas kasurnya. Siapa lagi kalau bukan pemilik kamar tersebut. Dengan santainya, dengan kondisi telanjang seperti itu, dia tetap membiarkan pintu kamarnya terbuka lebar. Aku tidak heran memang, karena aku biasa melihat pemandangan seperti ini hampir setiap hari.Selesai menunaikan hajatku, aku pun menuju ke kamarnya. Dimana ketika aku semakin

mendekat ke tempat tidurnya, semakin jelas pula terlihat kalau Kak Naya sangat-sangat

sembarangan ketika tidur. Selimutnya sudah tidak lagi menutupi tubuh telanjangnya. Posisi

tidurnya pun seperti mempersilahkan siapapun yang melihatnya untuk menjamahnya. Tidak

hanya terlentang, kedua kakinya pun sedikit mengangkang yang seperti sengaja untuk

memamerkan bagian tubuh yang harusnya paling dia ditutupi.

Kuperhatikan daerah selangkangannya itu, terlihat betapa tembamnya mahkota kewanitaannya

tersebut. Kontras sekali dengan punyaku yang berbulu lebat, punyanya kini sudah tidak lagi

ditutupi bulu. Iseng katanya, ketika dia memamerkan hasil cukurannya tersebut kemarin lusa.

Aku memang baru kali ini melihatnya dia mencukur habis rambut kemaluannya. Entah apa

alasan sebenarnya dibalik itu.

Merasa penasaran, kusentuh permukaan bibir kemaluannya tersebut. Rambut-rambut halus

yang mulai sedikit tumbuh, terasa sedikit kasar ketika jariku menyentuhnya. Ada sensasi aneh

tersendiri ketika menyentuh kemaluan tanpa rambut seperti ini. Karena aku memang belum

pernah merasakannya. Baik itu di kemaluan Kak Naya ataupun di kemaluanku sendiri.

Menyentuh kemaluan orang lain seperti ini memang sudah biasa bagi aku dan Kak Naya.

Bukan berarti kami penyuka sesama jenis, hanya saja hal ini memang kami lakukan karena

saking dekatnya hubungan kami. Terlebih, Kak Naya jugalah yang mengajariku cara

'menyentuh' kemaluanku sendiri dan bagaimana cara mendapatkan kenikmatan darinya.

Beralih dari area sekitar lubang kemaluannya yang biasanya ditumbuhi bulu-bulu, jariku pun kini

bergerak menuju ke daerah bibir kemaluannya. Kusentuh bagian tersebut dari bawah, lalu

menyusuri celah hingga sampai dimana klitorisnya berada.

Secara tiba-tiba kedua paha Kak Naya merespon dan langsung menjepit tanganku hingga

terperangkap di selangkangannya. Aku sempat sedikit terkejut dengan respon Kak Naya

tersebut. Dan pada akhirnya aksiku pun membangunkannya.

"Halo kakak cantik... katanya mau kuliah? Kok belum bangun?" kataku sambil tetap memainkan

jariku ke selangkangannya.

"Ah.. jadi males kuliah.. maunya dielus-elus sama kamu aja..." jawabnya. Paha yang tadinya

menjepit tanganku, sekarang malah dia renggangkan lebar-lebar.

"Idih malah keenakan... nih udah basah nih..." kataku sambil menyodorkan jariku yang sedikit

basah oleh lendir kemaluannya.

"Ih tanggung jawab dong... jangan bikin nanggung..." rengeknya."Ogah ah.. mending aku elus-elus punyaku sendiri haha" kataku sambil melenggang kembali ke

kamarku.

Plakk! Tiba-tiba Kak Naya menepuk pantatku dengan keras.

"Ihh.. sakit tau.." gerutuku sambil memegangi pantatku yang warna kulitnya sedikit kemerahan

karena perbuatan Kak Naya.

"Abisnya kamu gemesin sih" jawabnya.

"Awas ya.. nanti kubalas kakak" ancamku.

"Sini kalo berani" tantangnya sambil memiringkan badannya dengan pantat yang diarahkan ke

aku.

Aku pun mencoba membalas perbuatan Kak Naya. Namun sebelum tanganku sampai ke

pantatnya, dia segera menghindar.

"Eh.. gak kena wekk" ejeknya sambil tertawa.

Meskipun sedikit kesal, aku tak menggubrisnya lagi, aku pun kembali ke kamarku.

Begitulah sebagian aktifitas kami semenjak aku tinggal serumah bersama Kak Naya. Tapi

tunggu, sejak kapan kami tinggal serumah?

****

Bicara 3 tahun terakhir, adalah waktu dimana aku bertransformasi. Dimana aku berubah dari

anak SMA yang masih polos, menjadi seorang mahasiswi yang lebih dewasa. Dalam hal fisik,

tentu ada sedikit perubahan karena sekarang aku lebih tahu dalam hal merawat tubuh dan

berdandan. Bentuk tubuhku sih tidak berubah terlalu drastis, meskipun aku merasa payudaraku

sedikit membesar. Entah apakah itu efek kalau aku sering tidak memakai bra, atau hanya

perasaanku saja. Tapi yang jelas ukurannya masih kalah dari punya Kak Naya. Dan yang perlu

kusyukuri adalah kalau bentuknya tidak mengendor seperti yang kutakutkan.

Aku belajar melakukan perawatan tubuh dari Kak Naya. Dari pola makan sehat, olah raga

teratur, pengunaan skin care hingga rutin masturbasi sebagai salah satu aktifitas membakar

kalori haha. Yang hasilnya adalah kalau tubuhku bisa dibilang cantik luar dalam seperti punyaKak Naya. Yang artinya cantik ketika berbusana, dan lebih cantik lagi ketika tidak berbusana

hehe.

Perubahan yang paling besar dalam diriku adalah dalam hal pola pikir. Aku memang masih

mempunyai kebiasaan yang sama dengan Kak Naya. Bedanya jika dulu aku suka takut dan

sering merasa bersalah setelah melakukannya, sekarang aku lebih cuek dan cenderung lebih

menikmatinya. Mungkin posisiku saat ini adalah posisi yang sama dengan posisi Kak Naya 3

tahun lalu.

Dan yang paling berpengaruh dengan perubahan ini adalah ketika aku dan Kak Naya tinggal

serumah.

Jadi ini diawali ketika sekitar setahun yang lalu Papaku membeli rumah ini. Rumah ini dibeli dari

temannya yang katanya sedang butuh uang. Aku tidak tahu persisnya bagaimana, yang jelas

pada akhirnya Papaku membeli rumah ini. Kata Papa, selain membantu temannya alasannya

juga sekalian untuk investasi, atau bisa juga nanti diwariskan ke aku untuk aku tempati setelah

aku menikah.

Karena belum ada niatan untuk ditempati sendiri, Papaku sempat berpikiran untuk menyewakan

rumah ini. Namun aku bilang ke Papa bagaimana kalau suruh Kak Naya menempatinya saja,

daripada Kak Naya ngekos ya kan. Toh kebetulan lokasi rumahnya juga dekat dengan kampus.

Papa pun langsung setuju dengan ideku. Namun ketika Papa menawari Kak Naya, Kak Naya

justru menolaknya. Alasannya dia takut jika harus menempati rumah ini sendiri. Iya juga sih,

rumah sebesar ini seram juga kalau ditempati sendiri.

Lalu aku terbesit ide lain. Bagaimana jika aku ikut menempati rumah ini untuk menemani Kak

Naya?

Aku pun meminta ijin ke Papa dan Mama untuk menempati rumah ini. Dengan alasan kalau aku

ingin belajar hidup mandiri. Sekarang aku sudah menjadi anak kuliahan, bukan lagi anak kecil

yang selalu tergantung dengan orang tua. Terlebih lagi aku juga diterima di kampus yang sama

dengan Kak Naya, sehingga aku bisa berangkat ke kampus bersamanya.

Tak perlu pikir panjang buat orang tuaku untuk mempersilakanku dengan keputusanku itu. Toh

kalau misal aku tidak betah di rumah ini aku tinggal pulang ke rumah orang tuaku yang tak

terlalu jauh jaraknya. Kak Naya pun setuju dengan tawaranku. Hingga akhirnya kami tempati

rumah ini sampai sekarang.

Kalian bisa bayangkan bagaimana jadinya jika aku dan Kak Naya tinggal serumah dan tidak

ada orang lain lagi di rumah yang cukup besar ini. Sepenggal cerita di awal tulisan adalah

gambaran bagaimana kehidupan kami sehari-hari di rumah ini.

Sebagai gambaran, rumah ini berada tepat di pinggir jalan aspal yang hanya ramai ketika siang

hari. Kalau malam hari tidak terlalu sepi juga sih, hanya saja kendaraan yang lewat tidakseramai siang hari. Kanan kiri rumah kami juga dipenuhi rumah lain. Bahkan tepat di seberang

jalan juga terdapat rumah kos laki-laki, karena memang daerah ini adalah daerah dekat

kampus. Jadi suasananya tidak sepi-sepi amat, tapi tetap saja aku takut jika harus di rumah

sendiri lama-lama terutama saat malam hari.

Rumah ini terdiri dari 2 lantai dengan 3 kamar tidur. 1 kamar di lantai 1, sedangkan 2 kamar lagi

berada di lantai 2. 2 kamar bersebelahan ini lah yang aku dan Kak Naya tempati. Sedangkan

kamar di lantai 1 digunakan sebagai kamar tamu kalau ada teman yang menginap.

Rumah ini juga dilengkapi dengan ruang tamu, dapur yang luas, kamar mandi di tiap lantai,

serta balkon yang ada di lantai 2. Bagian depan rumahnya sendiri masih menyisakan halaman

yang cukup luas dan disertai dengan carport yang tidak bisa terlihat dari luar karena tertutupi

pagar tembok yang tingginya hampir setinggi badanku dan sebuah pintu gerbang yang hampir

tidak memilih celah. Satu-satunya celah hanyalah lubang untuk meraih pengunci pintu jika ingin

mengunci pintu dari luar. Sepertinya pemilik rumah sebelumnya memanglah orang yang sangat

tertutup. Untungnya rumah ni sudah dilengkapi dengan furniture yang cukup lengkap, sehingga

Papa tidak perlu keluar modal lagi untuk mengisinya.

Sebuah pengalaman baru tentunya tinggal di rumah sendiri tanpa hadirnya orang tua. Karena

apa-apa harus kulakuin sendiri untuk mengurus rumah. Untungnya Kak Naya adalah orang

yang rajin, terlepas dari kebiasaannya yang lebih suka tanpa busana. Iya, bisa kupastikan

hampir setiap hari tanpa busana. Setelah tinggal beberapa bulan dengannya, mungkin bisa

dihitung berapa kali dia berpakaian lengkap di dalam rumah. Selebihnya dia hampir telanjang

bulat tiap hari ketika di dalam rumah. Paling jika sewaktu-waktu dia pakai celana dalam, berarti

itu menunjukkan kalau dia sedang menstruasi. Dengan kondisi seperti itulah Kak Naya biasa

mengurus rumah, baik itu menyapu, mengepel, mencuci, dan lain-lain.

Berbeda denganku. Aku tidak segila Kak Naya. Aku masih sering memakai baju sewajarnya.

Paling aku lebih cenderung tidak memakai pakaian dalam saja ketika di dalam rumah. Namun

bukan berarti aku tidak pernah telanjang bulat seperti Kak Naya. Aku bertelanjang jika memang

aku sedang ingin saja. Entah karena memang aku sedang ingin masturbasi, atau kalau

memang cuacanya sedang panas. Tapi ada kalanya juga aku berpakaian tapi tidak lengkap.

Seperti memakai kaos tapi tanpa celana atau sebaliknya, bercelana tapi tidak memakai apa-apa

lagi di atasnya. Intinya aku hanya berpakaian sesuai mood.

Gaya berpakaian kami ini tentu saja hanya kami lakukan jika kami hanya berdua di dalam

rumah. Kami sudah sepakat, jika ada teman dari salah satu dari kami yang bermain ke rumah,

kami harus saling mengabari satu sama lain terlebih dulu. Tentu tujuannya agar mereka tidak

melihat kebiasaan aneh kami ini. Terutama Kak Chandra, orang yang paling sering dan

satu-satunya cowok yang masuk ke rumah kami. Khusus untuk dia, aku meminta Kak Naya

agar jangan pernah mengajak Kak Chandra naik ke lantai 2, apalagi masuk kamar. Kak Naya

pun menyetujui persyaratanku tersebut.

Ngomong-ngomong soal Kak Chandra, kalian tentu ingat peristiwa 3 tahun lalu.Aku masih ingat betul bagaimana ketika itu tangan Kak Chandra menggenggam, bahkan

cenderung seperti meremas payudaraku. Bagaimana aku bisa melupakan peristiwa itu kalau itu

adalah saat dimana satu-satunya cowok yang pernah menyentuh bagian tubuh terlarangku

meski masih dari luar baju. Belum lagi sebelumnya aku pernah terpergok olehnya ketika aku

sedang 'beraksi' sehingga dia bisa melihat bagian rahasia dari tubuhku.

Sesaat setelah kejadian itu, Kak Chandra menemuiku untuk bicara empat mata. Pada saat

itulah Kak Chandra meminta maaf atas kejadian yang tak disengaja itu. Meski sedikit trauma,

aku pun memaafkannya. Bahkan akhirnya aku mengaku tentang kebiasaan anehku padanya

dan berbalik meminta maaf atas kelakuan-kelakuan aneh yang pernah aku lakukan ketika itu.

Kak Chandra tidak kaget mendengar pengakuanku tersebut, karena dia memang sudah curiga

sejak awal. Terlebih, ternyata Kak Naya sudah cerita semuanya ke Kak Chandra. Jadi apalagi

yang perlu kututup-tutupi? Pada akhirnya kami sepakat untuk berdamai dan saling menjaga

rahasia masing-masing.

Sejak kejadian 3 tahun lalu itu, aku tidak pernah lagi secara sengaja 'pamer' di depan Kak

Chandra. Namun bisa saja tanpa sengaja Kak Chandra bisa melihat salah satu bagian tubuhku.

Karena takbisa kupungkiri aku sering keluar rumah tanpa memakai pakaian dalam, termasuk

ketika sedang bersama Kak Chandra. Namun tidak ada tujuan khusus untuk 'pamer' ke Kak

Chandra ketika itu.

Sebenarnya Kak Chandra adalah orang yang baik. Aku bisa lihat dari cara dia bicara, cara dia

memperlakukanku seperti adik sendiri, dan hal kecil lainnya. Karena itulah aku mengaguminya.

Aku seperti sudah menganggap dia sebagai kakak sendiri. Jujur, aku seperti menaruh rasa

padanya. Tapi kembali lagi aku harus sadar, kalau Kak Chandra adalah pacar Kak Naya yang

tidak mungkin aku rebut. Aku tahu mereka saling menyayangi satu sama lain. Itulah kenapa

mereka bisa awet berpacaran sampai sekarang. Aku malah berharap hubungan mereka bisa

berlanjut ke pernikahan. Sehingga Kak Chandra benar-benar jadi kakakku yang diikat oleh

status hubungan keluarga.

Salah satu kenapa aku tahu kalau Kak Chandra itu orang baik adalah dia tidak pernah

melakukan 'hal itu' dengan Kak Naya. Setidaknya itulah yang diceritakan Kak Naya padaku. Kak

Chandra tidak pernah melanggar batas yang sudah ditentukan oleh Kak Naya. Memang,

meskipun Kak Naya punya kebiasaan seksual yang cenderung menyimpang, namun dia tetap

punya prinsip. Salah satunya adalah dengan tidak sampai berhubungan badan sampai dia

menikah. Bahkan yang Kak Naya pernah ceritakan padaku, kalau Kak Chandra bisa dibilang

sudah pernah melihat semua bagian tubuh Kak Naya baik dari ujung rambut kepala hingga

ujung rambut kemaluan, tapi sampai saat ini Kak Chandra tak pernah menyentuh bagian

tubuhnya yang terlarang.

Kak Naya juga tidak serta-merta selalu memamerkan tubuhnya ke Kak Chandra. Bahkan yang

kulihat, setiap kali Kak Chandra main ke rumah, Kak Naya selalu menyempatkan diri untuk

memakai baju. Meskinpun baju yang dia kenakan juga kadang tidak bisa dibilang 'sopan',setidaknya dia selalu menutupi bagian tubuhnya yang paling rahasia itu. Mungkin hal tersebut

dilakukannya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Aku sendiri ketika menemui Kak Chandra di rumah juga selalu memakai baju yang sopan.

Meskipun aku tidak lagi berjilbab di depannya, namun untuk urusan baju yang kupakai

setidaknya tidak terlalu mengundang, seperti kaos lengan panjang ataupun celana panjang.

Sekalinya pakai kaos lengan pendek pun pasti bukan kaos yang ketat atau celana pendek pun

tetap sepanjang lutut. Meski sekali lagi, seringnya tanpa daleman. Entah apakah Kak Chandra

sadar atau tidak.

Tapi pun sebenarnya aku jarang berinteraksi dengan Kak Chandra secara langsung. Paling aku

hanya menyapanya ketika dia main ke rumah. Atau hanya sekedar nimbrung ketika Kak

Chandra sama Kak Naya sedang mengobrol. Aku seperti masih punya rasa sungkan atau malu

ketika bertemu dengannya.

***

Pagi ini aku masuk kuliah siang, jadi paginya aku masih bisa melakukan hal produktif lain.

Setelah aku membangunkan Kak Naya, aku berniat untuk mencuci baju. Maka akupun mulai

mengumpulkan baju kotor yang ada di kamarku. Lalu setelah itu berpindah ke kamar Kak Naya

untuk mengambil punyanya. Kami memang sudah biasa meenggabungkan cucian, dan

mencuci baju secara bergantian.

"Ada baju kotor gak kak?" tanyaku sambil melongok ke kamarnya. Kak Naya terlihat sedang

bersiap untuk mandi.

"Oh udah kumasukin ember di bawah" jawabnya.

"Oke" jawabku sambil pergi menuju lantai 1.

"Eh behanya nanti biar kukucek sendiri aja Din" sambungnya. Biasanya kami memang mencuci

bra secara manual, bukan pakai mesin cuci.

"Dah biar aku sekalian aja... baik kan aku..." jawabku.

"Ihh... kok baik banget sih adek aku... hihi"

"Iyadong... Dinda kan orangnya rajin" jawabku sambil menyombongkan diri.

"Rajin tapi pantatnya merah haha" ledeknya.Aku hanya meresponnya dengan menggoyangkan pantatku ke arahnya sambil berjalan menuju

tangga. Seperti kalian tahu, aku masih hanya bertanktop dan tidak memakai celana lagi.

Aku lantas menuju tempat cuci yang berada di belakang rumah. Tempat cuci rumah kami

memang sebenarnya berada di luar rumah, tepat di halaman belakang yang tidak terlalu luas

dan tertutup tembok tinggi.

Setelah memisahkan bra dari tumpukan baju kotor, akupun langsung memasukkannya ke

dalam mesin cuci. Tak lupa aku juga memasukkan tanktop yang mana merupakan satu-satunya

pakaian yang sedang kupakai. Udara dinginnya pagi pun langsung menyentuh kulit tubuh

telanjangku. Aku tak perlu was-was bertelanjang disini. Karena meskipun seperti berada di luar

rumah, namun sebenarnya hanya sedikit celah yang nampak disini karena adanya kanopi yang

menutupi sebagian besar halaman. Maka dari itu kami lebih suka menjemur baju di depan

rumah ketimbang disini karena panas cahaya matahari kesulitan untuk masuk.

Setelah merendam beberapa bra, kulanjutkan dengan menyapu lantai dan membuka beberapa

jendela rumah agar rumah tidak pengap. Dengan bertelanjang ria, kubersihkan setiap sudut

lantai dan memastikan tidak ada debu yang tertinggal. Kedua payudaraku pun

berguncang-guncang tiap kali aku mengayunkan sapu. Belum lagi terkadang aku harus

menungging untuk meraih debu di kolong kursi. Seolah-olah seperti ingin memamerkan lubang

anusku kepada siapapun yang berada di belakangku. Tapi sayangnya sedang tidak ada yang

menikmati pemandangan indah yang kupersembahkan ini.

Setelah menyisir seluruh ruangan, sampai akhirnya aku berada di ujung jalan, yaitu pintu depan

rumah kami. Kubuka sedikit pintu rumahku setelah membuka kuncinya. Lantas aku sedikit

mengintip untuk melihat keadaan luar.

Suara lalu lalang kendaraan pun sangat terdengar jelas di balik pagar rumahku. Namun karena

tinggi pagarnya, aku tidak dapat melihat tiap kendaraan yang lewat tersebut. Aku pun berpikir,

jika aku tak bisa melihat mereka, harusnya mereka pun tak bisa melihatku. Maka kuberanikan

untuk membuka pintu lebar-lebar dan menunjukkan ketelanjanganku keluar. Dengan perasaan

was-was dan selalu mengawasi keadaan sekitar, aku pun meneruskan menyapu hingga ke

teras.

Jantungku mulai berdegup kencang. Terlebih ketika ada mobil besar yang lewat di depan

rumah. Aku selalu sigap untuk berjongkok tiap kali ada mobil tersebut lewat, dan berharap

mereka tidak melihatku. Lalu tiba-tiba aku mendengar suara motor sport yang sangat familiar

berhenti tepat di depan gerbang. Aku yakin itu adalah motor Kak Chandra. Tanpa pikir panjang

aku pun bergegas kembali masuk rumah tanpa menyelesaikan tugas meyapuku terlebih dulu.

Ketika masuk rumah, Kak Naya terlihat sudah turun dari lantai 2. Penampilannya sudah

berubah. Yang tadinya polos tanpa ada sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya, sekarang

sudah berbaju lengkap dengan jilbab."Ngapain kamu Din?" tanyanya sambil tersenyum melihat aksiku yang terlihat seperti buru-buru

masuk rumah.

"Kak Chandra di depan tuh!" jawabku.

"Ohh.. pantes"

"Kok kakak gak bilang sih kalo Kak Chandra mau kesini?" gerutuku.

"Haha iya maap... aku lupa bilang kalo hari ini aku dijemput... lagian kan dia kan cuma nunggu

di depan" jawabnya.

"Iya tapi tetep aja bikin kaget"

"Ya mana kutau kalo kamu mau nyapu sampe depan sambil bugil gitu haha"

"Ya kan aku lagi pengen rajin"

"Haha iya iyaa... eh tapi sisain buat aku ya.. jangan semuanya kamu beresin..." jawabnya.

Kak Naya selalu seperti tidak rela jika ada pekerjaan rumah yang kukerjakan. Mungkin dia

merasa kalau dia sebenarnya hanya menumpang di rumah ini, sedangkan akulah tuan

rumahnya. Sehingga dia merasa lebih bertanggung jawab untuk merawat rumah sebagai timbal

balik karena dia sudah diperbolehkan menumpang di rumah ini.

"Kamu gak kuliah kah Din?" katanya sembari memakai helm.

"Nanti aku masuk siang..."

"Oh yaudah aku berangkat dulu ya.. jangan lupa nanti dikunci rumahnya.."

"Eh kak.." aku mencoba mencegahnya pergi.

"Iya?"

"Jangan lupa bilangin ke Kak Chandra yah soal laptopku..."

"Kenapa kamu gak bilang sendiri aja mumpung dia lagi di depan? haha" tanyanya.

"Ya kira-kira lah kak..." jawabku kesal sambil menunjukkan kondisi tubuhku.

"Haha iya iyaa... byee..." katanya sambil melenggang pergi."Eh jangan lupa tutup gerbangnya lagi kak!" teriakku.

"Iyaaa..!"

Aku pun mengawasi mereka dari jendela. Setelah memastikan mereka pergi, aku pun

menuntaskan kegiatan menyapuku. Lalu dilanjutkan dengan membuat sarapan sereal dan

menyantapnya sambil menonton tv. Setelah kenyang, aku pun kembali menuntaskan tugas

mencuciku dengan mengucek beberapa bra yang sudah kurendam tadi.

Selesai mencuci, maka yang harus kulakukan adalah menjemurnya. Seperti yang sudah

kubilang tadi, kami biasa menjemur di depan rumah. Namun dengan kondisi telanjang seperti

ini, aku tidak berani untuk keluar rumah dengan begitu saja. Maka sebelum keluar,

kusempatkan untuk mengambil mukena yang ada di kamar lantai 1 dan hanya memakai bagian

atasnya saja. Tentu saja bagian bawah tubuhku tetap terlihat, tapi setidaknya tidak terlihat dari

luar pagar. Sehingga aku lebih leluasa menjemur meski dalam keadaan setengah telanjang.

Meskipun sebenarnya aku yakin mukena yang kupakai sedikit agak menerawang. Tapi selama

tidak ada yang benar-benar jeli melihatnya, harusnya sih tidak apa-apa.

Selesai menjemur, aku sempatkan diri untuk menyiram tanaman yang ada di halaman rumah.

Karena takut mukenaku basah, aku pun sedikit mengangkat ujungnya dan memeganginya

dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang selang. Kini bagian bawah tubuhku

jadi terlihat jelas. Tapi tetap saja tidak akan terlihat dari luar pagar.

Setelah memastikan semua tanaman tersiram, aku berpikir bagaimana ya kalau suatu saat

nanti aku iseng mandi disini? Namun aku tidak melakukannya saat ini. Karena aku harus

bergegas bersiap untuk kuliah. Maka aku pun mengurungkan niat tersebut dan kembali masuk

ke dalam rumah untuk mandi seperti biasa dan bersiap untuk berangkat ke kampus.

****

Sorenya...

Selesai kuliah, aku langsung menuju rumah karena memang tidak ada kegiatan lain yang bisa

dilakukan. Namun sesampainya depan rumah, aku mendapati Kak Chandra sudah berada di

depan gerbang bersama motornya.

"Lho, lagi ngapain Kak?" tanyaku sembari menghampirinya dari arah belakang yang

membuatnya sedikit kaget.

"Nungguin kamu" jawabnya.

"Lha emang Kak Naya mana?""Oh dia lagi main sama temennya, trus nyuruh aku ke rumah... katanya kamu mau minta tolong"

jelasnya.

"Oh iya kak... ayo masuk kalo gitu..." kataku sambil turun dari motor untuk membukakan

gerbang.

Kak Chandra pun lantas menuntun motornya masuk lalu kuikuti dari belakang.

"Hampir aja mau kutinggal pulang Din... dari tadi kutelpon gak diangkat-angkat..." katanya

sambil turun dari motor.

"Ihh maaf Kak... hape Dinda ketinggalan di rumah... Dinda gatau kalo Kak Chandra mau

kesini..."

"Ooh.. pantes..."

"Kak Chandra udah nunggu dari tadi kah?" tanyaku. Aku jadi merasa bersalah telah

membuatnya menunggu.

"Enggak terlalu kok" jawabnya.

"Duh.. jadi gak enak... tapi Kak Chandra lagi gak sibuk kan?"

"Iyaa gapapa Din.. aku lagi gak ada acara kok..." jawabnya.

"Yaudah masuk yuk kak" aku pun mempersilakannya masuk.

Aku memang sedang ingin meminta bantuan Kak Chandra untuk menginstall ulang laptopku.

Tapi karena aku masih merasa sungkan dengannya, aku tidak pernah berani bilang langsung ke

Kak Chandra. Makanya aku pun meminta tolong ke Kak Naya untuk menyampaikan pesanku.

Tapi aku tidak tahu kalau ternyata Kak Chandra bakal langsung ke rumahku hari ini juga. Aku

cukup terkejut karena tak biasanya Kak Chandra ke rumah tapi tanpa kehadiran Kak Naya.

Karena biasanya Kak Naya lah alasan utama kenapa Kak Chandra kesini.

Kak Chandra pun langsung masuk ke rumah dan langsung duduk di ruang tamu seperti biasa

ketika dia kesini. Sebenarnya malah aku yang sedikit canggung karena harus berduaan

dengannya.

"Kak Chandra bisa install ulangin laptop Dinda kan?" aku memastikan jika Kak Chandra sudah

tahu maksud dan tujuanku meminta pertolongannya.

"Bisa Din.. nih aku punya installernya.." jawabnya.

"Oke.. bentar ya kak.. laptop Dinda masih di atas... Dinda mau angkat jemuran dulu""Okeee... aku sambil numpang nyekripsi juga ya Din..."

"Iya kak..."

Dengan tas kuliah yang masih kupakai, aku pun bergegas mengangkat jemuran yang ada di

depan rumah. Bukan karena hujan, hanya saja aku merasa tak enak karena banyak pakaian

dalam yang terpajang di pandangan Kak Chandra. Setelah semua terangkat aku pun buru-buru

untuk membawa jemuran ini ke lantai 2 sembari mengambil laptopku. Aku tak mau membuat

Kak Chandra menunggu lama.

"Ini kak... rasanya udah lemot banget.. pengen kuinstall ulang aja..." jelasku setelah turun dari

lantai 2 sembari menaruh laptopku di meja di depan Kak Chandra.

Kak Chandra pun langsung membuka laptoku dan menyalakannya. Sementara aku duduk di

sebelahnya.

"Passwordnya apa Din?" tanya Kak Chandra sambil menunjukkan layar laptopku yang

menampakkan halaman login windows.

"Oh sini kak.." aku pun menggeser dudukku mendekati posisi Kak Chandra untuk mengetikkan

password laptopku.

Entah kenapa tiba-tiba jantungku berdegup kencang ketika aku duduk di sebelahnya. Momen

seperti ini terakhir kali terjadi ketika Kak Chandra datang ke rumahku 3 tahun lalu untuk

membicarakan pasca peristiwa 'remasan' kala itu. Namun saat itu pun posisi duduk kami tidak

sedekat ini. Aku pun kembali bergeser sedikit menjauh dari Kak Chandra karena saking

deg-degannya.

"Kenapa Din? Aku bau kah?" tanyanya sembari mencium ketiaknya sendiri. Sepertinya dia

sadar akan kegugupanku.

"Ah enggak kak... cuma biar kakak gak gerah aja... siapa tau Dinda bikin gerah hehe..."

jawabku.

Kak Chandra tiba-tiba menatapku sejenak.

"Kenapa Kak?" tanyaku.

"Sejak kapan kamu pake kacamata Din?" tanyanya."Oh udah lama sih kak. Kenapa?"

"Ah enggak... aku kayak pangling aja hehe" jawabnya.

"Kok bisa sih kak? Kan kita terakhir ketemu juga gak lama-lama amat"

"Iya tapi kan aku baru liat kamu pake kacamata gini... ternyata jadi tambah cakep"

"Ah masa sih kak.." aku hanya tersenyum tersipu malu mendengar pujian tersebut.

Suasana tiba-tiba hening sesaat. Aku hanya bisa memperhatikan apa yang dilakukan Kak

Chandra. Sementara aku juga bingung ingin membuka obrolan lagi. Sampai akhirnya Kak

Chandra membuka obrolan basa-basi tentang kuliah. Oiya, aku sama Kak Chandra kebetulan

satu jurusan. Bedanya aku masih semester 2 sementara Kak Chandra sudah semester akhir.

Namun meskipun satu jurusan, aku jarang bergaul dengannya di kampus. Paling hanya saling

sapa, itu pun kalau aku sedang tidak menghindar darinya.

"Gimana Din? Betah kuliahnya?" tanyanya sambil tetap asyik mengutak-atik laptopku.

"Hmmm... kayaknya Dinda salah jurusan deh kak... Dinda gak ada yang paham" keluhku.

"Haha... kalau ada yg gak paham kenapa gak nanya ke aku?"

"Ya Dinda gak enak gangguin Kak Chandra nanti.."

"Haha enggalah.. kalo aku bisa bantu ya pasti kubantu... lagian dulu kenapa kamu milih ini?"

tanyanya.

"Ya dulu kayak keren aja... tapi ternyata gak sesuai ekspektasi.."

"Haha.. trus mau pindah jurusan kayak Naya?"

"Enggak lah... Dinda kudu setrong" jawabku sambil membuat gestur mengepalkan tangan.

"Iyaa semangat yaa... pokoknya kalo kamu perlu bantuan, ada aku... anytime.." katanya, Aku

hanya senyum-senyum sendiri mendengar omongan Kak Chandra.

Lalu suasana kembali hening. Sementara Kak Chandra terlihat mengeluarkan laptopnya sendiri.

Mungkin dia memang mau sekalian mengerjakan skripsinya atau entah apa. Aku hanya

memperhatikannya.

Aku merasa sedikit gerah setelah pulang kuliah tadi. Tanpa kusadari, aku masih berpakaian

lengkap sejak masuk rumah. Padahal biasanya pulang kuliah seperti ini aku langsung melucutipakaian yang kupakai ketika masuk rumah dan langsung memasukkan baju kotorku ke mesin

cuci sebelum akhirnya naik ke lantai 2. Karena merasa panas, aku pun melepas jilbabku

dengan didului dengan melepas kacamataku. Aku tak perlu merasa sungkan, karena aku sudah

biasa menemui Kak Chandra tanpa berjilbab.

Setelah jilbabku terlepas, lantas aku sedikit mengencangkan ikat rambutku yang sedikit melorot.

Tanpa sadar, ketika aku mengikat rambut

tersebut

ternyata Kak Chandra sedang

memperhatikanku. Aku yang menyadarinya pun berbalik menatapnya hingga tatapan kami

bertemu secara awkward. Secara spontan Kak Chandra pun membuang pandangan.

"Kenapa lagi kak?" tanyaku. Aku sempat terpaku sebentar ketika sedang mengikat rambut

karena bingung kenapa Kak Chandra menatapku seperti ini.

"Ah gapapa Din" jawabnya sambil kembali fokus ke laptop.

Aku yang bingung lantas mengecek apakah ada yang salah dengan bajuku. Tanganku pun

memastikan kalau kerah bajuku tidak terbuka lebar, karena siapa tahu Kak Chandra sedang

melihat sedikit belahan dadaku dari celah tersebut. Namun bisa kupastikan kalau kerah bajuku

tidak terbuka. Jadi seharusnya dia tidak lihat apa-apa.

"Eh aku nggak liatin itu Din... serius" katanya setelah menyadari aku sedang membetulkan

kerah baju.

"Aku cuma mau buktiin... ternyata bener kata orang-orang kalo cewek tu keliatan lebih cakep

kalo pas lagi mbenerin rambut" lanjutnya. Aku tersenyum mendengar alasannya tersebut.

"Ah masa sih... orang Dinda lagi kucel gini..." jawabku. Aku memang sedikit berkeringat

sehingga rambutku sedikit lepek.

"Ya tapi kalo dasarnya udah cekep mah cakep aja Din... kucel pun tetep keliatan cakep gitu"

celetuknya.

"Ih kakak nggodain Dinda... kubilangin Kak Naya lho nanti" ancamku bercanda.

"Ih siapa yang godain sih.. orang aku cuma bilang apa adanya aja..."

Dalam hati, aku senang sekali ketika dipuji seperti ini. Terlebih pujian itu terlontar dari mulut Kak

Chandra. Hingga sering kali aku tersenyum-senyum sendiri karenanya.

"Kamu udah punya pacar Din?" tanyanya.

Aku hanya menggeleng.

"Serius?" lanjutnya.Aku pun hanya mengangguk. "Kenapa?" tanyanya lagi. "Kenapa apanya?" "Ya kenapa kok cewek secakep kamu belum punya pacar?" jelasnya. "Ya emang lagi gak pengen pacaran aja... mau fokus kuliah aja" jawabku singkat. "Oh... tapi yang deketin banyak kan pasti?" "Hmm... gatau deh" jawabku sambil tersenyum.

"Banyaklah pasti, gak mungkin enggak" Kak Chandra menjawab pertanyaannya sendiri karena tidak mendapat jawaban pasti dariku.

"Dinda pengen jaga diri aja kak... takut kejadian yang enggak-enggak kalo Dinda pacaran" lanjutku.

"Ohh..." jawabnya. Sepertinya Kak Chandra langsung paham dengan maksudku. Dia pun tidak melanjutkan dengan pertanyaan lain lagi.

Dan suasana pun sempat hening sesaat. Sementara aku yang kegerahan pun mengipasi diri menggunakan jilbab yang sudah kulepas tadi. "Kalo kamu mau naik ke kamar, gapapa Din" kata Kak Chandra yang melihatku kurang nyaman. "Ah gapapa kak.. gak sopan kalo ada tamu malah ditinggal.." jawabku. "Ah kayak sama siapa aja... biasa aja kali.." "Haha... Dinda ambilin kipas angin aja ya kak... Kak Chandra gerah juga kan?" tawarku. "Bolehh.."

Aku pun mengambil kipas angin yang berada di lantai 2. Buat orang seperti aku sama Kak Naya yang sudah terbiasa memakai pakaian terbuka atau bahkan tidak memakainya sama sekali, memakai baju lengkap dengan lengan panjang seperti ini di dalam rumah adalah sebuah siksaan tersendiri. Tak ayal, keringatku pun terus mengucur deras di balik baju ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak mungkin jika harus buka baju di depan Kak Chandra kan?


Bersambung ke part 2...

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home