KISAH DINDA Bagian 9 (Part 2)
Selama jongkok di atas rerumputan seperti ini, aku merasakan ada sehelai dua helai rumput yang ujungnya menyentuh kulit pantatku. Rumput di dekat pagar seperti ini memang lebih cenderung panjang-panjang jika jarang dipotong secara berkala. Tentu saja ada sensasi geli tersendiri ketika rumput yang panjang tersebut menyentuh kulit pantatku. Terlebih ketika ujung rumput tersebut sedikit 'menusuk' di area sekitar anus hingga kemaluanku yang saat ini sedang tersingkap dengan posisiku yang seperti ini.
Namun bukannya aku menghindar dari rumput tersebut, aku malah mulai menikmatinya. Lalu terbesit ide bagaimana jika aku duduk di rumput dengan kondisi pantat tanpa alas seperti ini. Maka aku pun memastikan kalau rumput di bawahku bersih dari batu dan hewan kecil yang dapat mengancam lubang bawahku sebelum akhirnya aku memutuskan untuk duduk di atasnya.
Secara perlahan, aku pun mulai meletakkan pantatku ke rumput. Yang tadinya hanya sehelai dua helai, kini sudah tak terhitung berapa helai yang ujungnya sedikit menusuk kulit pantat dan selangkanganku. Aku dapat melihat rumput-rumput tersebut muncul di antara kedua pahaku dan bersaing dengan lebatnya bulu kemaluanku. Memang sedikit agak gatal, namun cenderung lebih geli terutama yang menyentuh daerah lipatan selangkangan. Terlebih, embun yang masih menempel pada rumput menambah sensai dingin ketika menyentuh kulit.
Aku pun menyelonjorkan kedua kakiku, sehingga dari pangkal paha hingga ujung tungkai kini menempel pada rerumputan. Sementara kedua tanganku menopang tubuhku ke belakang. Sambil menggoyang-goyangkan ujung kakiku, aku senyum-senyum sendiri karena rasanya begitu menyenangkan bisa duduk di rerumputan sambil bertelanjang seperti ini. Karena momen seperti ini tentu tidak bisa dilakukan sembarangan di luar rumah.
Namun tidak hanya sampai disitu, karena rasa penasaranku membuatku ingin mencoba untuk merebahkan tubuhku sekalian. Maka tanpa pikir panjang, aku pun segera melakukannya. Secara perlahan, ujung-ujung rumput ini pun mulai menusuk-nusuk kulit punggungku ketika aku mulai merebahkan tubuhku.
Tidak peduli dengan rasa sedikit gatal pada punggung, aku begitu menikmati momen ini. Setidaknya salah satu fantasiku sedikit terwujud, dimana aku berkeinginan untuk bisa bertelanjang di alam liar yang jauh dari hingar bingar, dimana aku dan tubuhku bisa menyatu dengan alam tanpa ada yang membatasinya.
Kurentangkan kedua tanganku, dan kembali menekuk kedua kaki lalu sedikit membukanya. Maka dengan posisi seperti ini, kemaluanku akan jelas terlihat dengan menghadap langsung ke arah tembok pagar. Tentu saja aku was-was, karena bila ada orang yang mengintip dari atas tembok, dia tidak hanya akan melihat tubuh telanjangku saja, namun juga akan melihat kemaluanku yang seolah-olah sengaja disuguhkan ke dia.Namun aku merasa aman, karena aku tidak mendengar ada orang yang sedang lewat di balik
tembok ini. Malah, aku tidak mendengar suara apapun. Suasananya begitu hening, bahkan aku
bisa mendengar kicauan burung yang lalu lalang diatasku.
Kutatap langit yang begitu cerah di atasku. Matahari yang sebelumnya bersembunyi di balik
awan pun mulai menampakkan diri, seolah-olah tidak ingin ketinggalan untuk melihat
ketelanjanganku. Seketika, pancaran sinarnya pun langsung menerpa tubuhku. Kupejamkan
mataku karena silau cahayanya. Dan heningnya suasana, akhirnya membawaku ke dalam
lamunan fantasi.
Aku merasa sedang berada di padang rumput yang sangat luas. Tidak ada seorang pun selain
diriku yang tengah berlari kecil sambil telanjang bulat. Hanya ada beberapa ekor kelinci yang
berlari seiring dengan kedatanganku. Aku merasa begitu bahagia, tak peduli dengan kondisi
tubuhku yang tidak tertutup sehelai benang pun.
Lalu tiba-tiba seekor kuda berwarna putih menghampiriku. Dari tatapan matanya, aku mengerti
jika ia ingin aku menungganginya. Aku pun menurutinya.
Singkat cerita, aku pun berhasil naik ke punggung kuda tersebut. Namun tanpa memberikan
aba-aba, sang kuda tiba-tiba langsung berlari mengelilingi luasnya padang rumput. Badanku
pun sedikit tersentak, karena terkejut dengan pergerakan sang kuda yang tiba-tiba. Namun aku
berhasil meraih rambut sang kuda untuk berpegangan sehingga aku tak terjatuh.
Saking kencangnya sang kuda berlari, dadaku pun berguncang hebat. Mereka berayun tak
beraturan seakan-akan ingin lepas dari
tubuhku. Tanganku pun tak sempat untuk
memeganginya, karena tanganku sedang berpegang erat pada sang kuda untuk menahan
tubuhku. Bukan hanya itu, kemaluanku pun harus bergesekan dengan punggung sang kuda
yang naik turun seiring dengan derap langkahnya.
Hingga akhirnya tanganku tak sanggup lagi menahan cengkramanku. Aku pun terjatuh dari atas
kuda, tersungkur, terguling, hingga terlentang di hamparan rumput yang tidak keras. Aku tidak
merasakan sakit sama sekali. Justru yang kurasakan adalah rasa geli yang menghinggapi
kemaluanku. Ah, rupanya kemaluanku sudah basah.
Sudah kepalang basah, maka kurentangkan kedua kakiku lebar-lebar, dan tanganku pun mulai
membelainya. Ah.... senang rasanya bisa masturbasi di padang rumput seperti ini. Tak berapa
lama para kelinci pun datang menghampiriku. Mereka seperti heran ketika melihat apa yang
tersembunyi di antara kedua pahaku. Mereka begitu menikmati melihatku membelainya.
Dengan mata terpejam, tak kupedulikan lagi tatapan-tatapan kelinci itu. Karena aku sedang
terhipnotis oleh ulah tanganku sendiri. Lalu secara tiba-tiba, cahaya matahari yang tadinya
menyilaukan mataku, kini menjadi gelap, bagaikan sebuah gerhana yang datang membawa
kegelapan. Aku pun membuka mataku, dan aku melihat wajah Kak Naya muncul di antara
kedua payudaranya."Kamu lagi ngapain din?" tanya Kak Naya, yang tentu saja langsung menyadarkanku dari
lamunan. Entah sejak kapan tiba-tiba dia muncul dengan posisi jongkok di dekat kepalaku.
Yang tentu saja membuatku terkejut.
"Ah enggak... lagi berjemur aja.." jawabku asal.
"Haha tumben-tumbenannya kamu berjemur kayak gini..."
"Berjemur itu bagus tau buat mencegah virus..." alasanku.
"Trus berjemurnya harus sambil ngangkang gitu?" tanyanya. Aku segera menyadari posisiku
yang ternyata sedang mengangkang lebar dengan tangan kananku berada di kemaluanku.
"Ya kan biar semuanya merata kena matahari kak...." lagi-lagi aku beralasan sekenanya.
"Hahaha... pinter sih kamu ngelesnya..."
"Abisnya kakak ngagetin... gangguin orang lagi asyik aja..." keluhku.
"Haha.. lha abisnya kamu asik-asik di luar gini... gak takut ada yang liat?"
"Kan ada tembok... lagian di luar kayak sepi banget gak sih kak...." aku pun melirihkan suaraku.
"Iya ya.. gak kayak biasanya..." jawabnya sambil berdiri dan sedikit berjinjit untuk mengintip ke
luar pagar.
"Gimana?"
"Iya... gak ada orang lewat" katanya sambil berjinjit.
"Ya tapi tetep aja jangan seenaknya berdiri gitu kali kak... bisa aja tuh anak kosan depan bisa
liat dari jendela..." kataku menyuruhnya untuk berjongkok kembali.
"Hihihi.. biarin... udah lama banget aku pengen godain mereka..."
"Yaudah sana..."
"Gak deng... takut hihihi... kamu bisa kepikirannya sih masturb disini?" tanyanya.
"Tadi niatnya mau beresin taneman... tapi pas nyoba duduk di rumput ternyata geli hehe..."
"Iya kah?""Coba aja kalo gak percaya.." ajakku.
Kak Naya pun mencoba duduk di rumput tanpa alas seperti halnya yang aku lakukan.
"Eh iya.... hihihi...." katanya samil duduk bersila di rumput dengan menghadap ke arahku.
Tentu dengan adanya Kak Naya di sebelahku, membuatku risih untuk melanjutkan
masturbasiku.
"Harus banget ngeliatin aku gitu kak?" keluhku.
"Iyah.. aku pengen nonton kamu masturbasi hihihi" jawabnya santai.
"Ihh kak... malu.... jangan diliatin gitu...."
"Kenapa malu sih din... kamu aja dah biasa liat aku masturb, akunya biasa aja..."
"Ya pokoknya malu aja... aku gak bisa kalo masturb sambil diliatin"
"Yaudah aku merem" jawabnya.
"Ihh kak.."
"Coba deh sekali aja... masa kamu masih malu terus sama aku... orang kamu tiap hari sama
aku terus... lagian aku juga udah sering mergokin kamu lagi masturb... hihihi" terangnya.
"Yaudah... tapi kakak jangan laitin aku kayak gitu... risih tau..."
"Yaudah deh yaaa... aku ikut tiduran aja kalo gitu..." Kak Naya pun ikut memposisikan diri untuk
tiduran di sebelah kiriku.
Aku mencoba tidak memperdulikan keberadaan Kak Naya di sebelahku, aku pun kembali
memejamkan mataku, sementara tangan kananku kembali membelai kemaluan yang sudah
basah akan lendir kewanitaanku. Aku pun mencoba untuk kembali masuk ke dalam fantasiku
tadi. Namun belum sempat aku masuk kesana, kurasakan lutut kiriku bersenggolan dengan
lutut Kak Naya. Aku pun kembali membuka mataku, dan melihat Kak Naya memposisikan diri
dengan mengangkang lebar seperti halnya yang kulakukan.
"Kamu mau ngapain kak?" tanyaku.
"Menurutmu ngapain?" jawabnya sambil dengan santainya juga membelai kemaluannya sendiri.
"Ih... ngikut-ngikut aja sih kamu kak? Lagian kemaren pagi kan udah...""Abisnya liat kamu kayak gitu jadi pengen juga... hihihi"
"Trus harus banget barengan gini kak?" protesku.
"Sekali-kali boleh lah.... hihihi"
"Ihh... yaudah deh terserah kakak.." aku pun pasrah, dan kembali dengan aktivitasku tanpa
memperdulikannya.
"Apa mau kerjasama aja? hihihi" tawarnya.
"Maksudnya?"
"Aku pegang punya kamu, kamu pegang punyaku hihihi"
"Ih. Apaan sih kak... emangnya kita lesbi?" jawabku.
"Haha becanda kali..."
Nalarku jelas menolak ajakan tersebut, terlepas apakah Kak Naya serius atau tidak dengan
ajakkannya tersebut. Namun aku malah mulai membayangkannya. Bagaimana dengan posisi
kami yang seperti ini, tanganku membelai kemaluannya sementara tangannya membelai
kemaluanku? Terkesan gila, tetapi kenapa aku malah tertarik dengan ide tersebut? Ah, tetapi
aku sudah terlanjur menolaknya dan memang sudah seharusnya aku menolaknya.
Kulihat Kak Naya mulai memejamkan mata. Tangan kirinya dengan aktif meremas-remas
payudaranya sendiri. Aku tak dapat melihat kemaluannya karena dari posisi tidurku,
pandanganku terhalang oleh dadaku sendiri. Namun yang jelas tangan kanannya juga ikut aktif
untuk merangsang area selangkangannya. Kubiarkan lutut kanannya menempel pada lutut
kiriku, karena memang posisi kami bersebelahan dan sama-sama mengangkang sehingga mau
tidak mau lutut kami harus beradu.
Aku pun mulai membelai kemaluanku lagi. Namun kali ini aku tidak memejamkan mataku. Aku
justru bermasturbasi sambil memandang Kak Naya yang sedang melakukan hal yang sama
denganku. Entah apakah dia sadar atau tidak jika aku menatapnya, karena dia terlihat sedang
menikmati rangsangan-rangsangannya sendiri sambil memejamkan matanya.
Mungkin ini adalah pertama kalinya aku bermasturbasi bersama Kak Naya secara
bersebelahan. Kami memang suka masturbasi, namun kami biasa melakukannya
sendiri-sendiri. Karena menurutku masturbasi itu adalah kegiatan yang membutuhkan privasi.
Maka dari itu aku sebisa mungkin menjauh dari Kak Naya ketika bermasturbasi, dan selalu
mengusirnya jika Kak Naya menghampiriku ketika aku sedang asyik dengan kemaluanku.
Berbeda dengan Kak Naya, dia justru cuek dengan kehadiranku ketika dia sedangbermasturbasi. Namun biasanya justru aku yang merasa risih, sehingga aku pun menghindar
darinya.
Namun kali ini entah kenapa aku justru suka melihatnya bermasturbasi di sebelahku.
Melihatnya mengerang kenikmatan justru ikut memacu birahiku sehingga aku pun merasa
seperti tidak mau kalah darinya. Kami seolah-olah sedang berlomba, sama-sama memacu
nafsu kami untuk mencapai puncak kenikmatan lebih dulu.
Aku pun mulai mempercepat gerakan jari-jariku di kemaluanku, sehingga menimbulkan suara
gesekan yang khas ketika jari-jariku beradu dengan bibir kemaluanku yang telah terlumuri oleh
lendir kewaniataanku. Semakin cepat gerakan tanganku, aku merasa aku hampir mencapai
orgasmeku. Namun tiba-tiba...
"Permisi!" terdengar suara orang memanggil dari arah pintu gerbang!
Aku pun langsung terdiam, sama halnya dengan Kak Naya. Kami hanya saling menatap,
aktivitas kami terhenti, sama-sama panik, dan bingung harus berbuat apa. Karena saat ini, ada
orang sedang berada hanya beberapa meter dari posisi kami. Hanya tembok pagar dan pintu
gerbang yang membatasi ketelanjangan kami dan orang tersebut.
"Permisi!" orang tersebut kembali berteriak sambil mengetuk pintu gerbang beberapa kali.
Kak Naya memberi isyarat kepadaku untuk diam dan jangan bersuara. Maka aku pun
menurutinya dengan tidak bergerak sama sekali.
"Lagi pada kuliah mungkin pak..." terdengar suara orang lain yang sepertinya bersama orang
yang berteriak tadi. Jadi paling tidak ada 2 orang yang sedang berada di depan gerbang
rumahku.
"Iya kali ya... terus gimana?" tanya orang satunya.
"Yaudah ditaruh aja suratnya pak..."
Tak lama kemudian aku melihat ada selembar surat yang dilempar melalui celah roda pintu
pagar. Dan tak lama kemudian aku mendengar suara langkah mereka yang mendekati posisi
kami. Sepertinya mereka berjalan melewati depan pagar tepat di depan posisi kami. Aku pun
masih dapat mendengar percakapan mereka yang sepertinya sedang membicarakan kami.
"Mereka cuma berdua ya disini?" tanya salah satu dari mereka.
"Iya pak..." jawab satunya.
Semakin lama suara mereka semakin mendekat. Jantungku pun makin berdegup kencang
seiring kedatangan mereka. Adrenalinku pun makin terpacu. Aku yang hampir mencapaipuncak kenikmatanku, tanpa sadar mulai membelai kemaluanku lagi. Namun aku tetap
berusaha untuk tidak bersuara sekecil mungkin. Hanya jari-jari tanganku yang tetap aktif
bermain di sekitar bibir kemauanku.
"Mereka tu kakak adek apa gimana ya?" lanjut tanya salah satu dari mereka.
"Iya kayaknya pak.. lha wong mirip gitu mukanya... cakep semua..."
"Iya... yang gede itu mantep juga..."
"Gede apanya pak?"
Aku makin mempercepat gerakan jariku sambil mataku tetap tertuju pada atas pagar. Takut jika
sewaktu-waktu kepala mereka terlihat dari arahku. Karena jika mereka berjalan agak mepet ke
tembok, maka bukan tidak mungkin mereka dapat melihat kami.
"Yang tua maksudnya pak..." sambung salah satu dari mereka.
"Oalah kirain gede apanya... saya kan gak tau... lha wong saya belum liat dalemnya haha.."
Andaikan tidak ada tembok pagar yang membatasi kami dan kedua orang tersebut, tentu saja
kedua orang tersebut akan dapat menikmati ketelanjangan kami. Bahkan, mereka hanya tinggal
memilih salah satu dari kami untuk memasukkan penis mereka ke kemaluan kami, karena
posisi kami yang mengangkang menghadap mereka seolah-olah memang sedang
mempersilahkan mereka untuk menjamah tubuh kami.
"Wah sampeyan ini otaknya ngeres aja... haha"
"Haha.. saya malah suka yang satunya pak.. yang pake kacamata itu... manis bener kalo lagi
senyum..." jawab orang satunya.
Kini posisi mereka benar-benar tepat di depanku, yang mungkin hanya berjarak tak sampai 2
meter dari posisiku. Dan pada saat itulah aku mendapatkan orgasmeku!
Badanku pun menggelinjang hebat hingga aku sedikit mengangkat pantatku seiring dengan
ledakan kenikmatan yang bersumber dari selangkanganku. Aku pun berusaha untuk tidak
mengeluarkan lenguhan-lenguhan dengan menutup mulutku dengan tangan kiriku.
"Dia itu udah seumurannya putrane njenengan lho..." lanjut pembicaraan mereka sambil
terdengar mulai menjauh dari posisi kami.
"Wah iya ya... berarti saya udah tua haha.."Suara tawa mereka pun sayup-sayup mulai tak terdengar seiring dengan semakin menjauhnya
mereka dari rumahku. Sementara tubuhku pun mulai terkulai lemas, dengan nafas yang
tersengal-sengal dan keringat mulai bercucuran. Kutatap Kak Naya, rupanya dia sedang
tesenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya setelah melihatku mendapatkan orgasme.
"Gila kamu Din... sempet-sempetnya ngecrot pas kondisi gini..." ucap Kak Naya lirih.
Dengan nafas tersengal, aku pun membalas komentar Kak Naya tersebut dengan senyuman.
Sebuah senyum kepuasan karena sensasi yang baru saja kudapatkan. Sebuah orgasme yang
beda dari masturbasi-masturbasiku sebelumnya. Karena aku mendapatkannya dengan
keadaan telanjang bulat di luar ruangan, serta keberadaan 2 orang asing yang hanya berjarak 2
meter dari selangkanganku yang membuatnya jauh lebih spesial.
"Hehe... abisnya tadi nanggung banget kak... udah diujung..." jawabku sambil merebahkan
kedua kakiku dan menikmati sisa-sisa kenikmatan yang terasa masih mengalir dari lubang
kemaluanku.
"Gila gila gila... Dinda sekarang jadi maniak masturbasi... siapa yang ngajarin sih... hihihi" ejek
Kak Naya.
"Hmmm siapa ya...." jawabku sambil melirik ke arahnya. Terlihat jika Kak Naya tidak
melanjutkan mastubasinya.
"Ngapain kamu ngeliatin aku kayak gitu?" keluh Kak Naya setelah aku menatapnya dengan
seksama.
"Tuh kan.... risih kan kalo diliatin gitu... itu gak dilanjutin tuh?" jawabku sambil menunjuk ke
kemaluannya.
"Udah mulai panas Din.. mau pindah aja ah.." kata Kak Naya sambil bangkit dari posisi tidurnya.
"Ih gak seru...." ejekku.
"Biarin wekkk" katanya sambil membersihkan rumput yang menempel pada pantatnya namun
dengan sengaja diarahkan ke arahku. Kesempatan itu pun tak kusia-siakan untuk menepuk
pantatnya sebagai balasan apa yang biasa Kak Naya lakukan padaku.
"Ih awas ya.... nanti kubalas!" ancamnya sambil berjalan menunduk ke arah pintu gerbang
untuk memungut surat yang dilempar oleh 2 orang asing yang lewat di depan rumah tadi.
"Apa tuh kak?" tanyaku ketika Kak Naya membaca surat tersebut.
"Surat dari RT... katanya kita dihimbau buat jangan bepergian dulu, sama gak boleh nerima
tamu dari luar dulu..." jelasnya."Oh kirain surat himbauan buat jangan pake baju dulu... haha"
"Kalo itu mah nanti aku yang bikin... himbauan buat Dinda agar tidak memakai baju sebulan
kedepan.... hahaha" balasnya.
"Udah kayak orang gila kali ah sebulan gak pake baju"
"Ya sapa tau kan? Kan kamu emang udah gila... hahaha" ejeknya sambil melenggang masuk ke
dalam rumah.
Sementara Kak Naya masuk ke dalam rumah, aku masih dalam posisi terlentang di atas rumput
sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan masturbasiku. Tak terasa, keringatku bercucuran.
Setelah selesai masturbasi, biasanya aku selalu berkeringat namun tak sampai separah ini.
Sepertinya hal ini dikarenakan matahari mulai terasa terik menerpa kulit tubuhku. Itu terlihat dari
kulit dadaku yang biasa terlihat paling putih di antara sekujur tubuhku, kini berwarna sedikit
kemerahan karena paparan matahari, ya meskipun warna merah itu juga dipengaruhi oleh
bekas remasan tanganku sendiri. Aku pun menjadi ragu untuk melanjutkan niatku untuk
mengurus tanaman, karena cuaca semakin terik. Bukan karena aku takut kulitku menghitam,
tapi hanya saja paparan sinar matahari yang menerpa kulitku yang tanpa tertutup apa-apa ini,
membuat kulitku sedikit sakit karena iritasi, terutama pada daerah dadaku.
Akhirnya kuputuskan untuk mengurungkan niatku untuk mengurus tanaman, dan beralih untuk
menyiraminya saja. Namun sebelum aku beranjak dari posisiku, aku masih punya satu ide
konyol untuk dilakukan.
Kutekuk kembali kedua kakiku dengan posisi tetap mengangkang. Dengan bantuan kedua
tanganku untuk memegangi pahaku, kuangkat kedua kakiku hingga lututku menyentuh dadaku.
Dengan posisi seperti ini, aku dapat melihat kemaluanku sendiri yang merekah karena posisi
mengangkangku ini serta mengkilap karena bekas lendir yang keluar dari lubangnya. Tidak
hanya itu, posisi ini juga membuat lubang anusku akan terlihat jelas dari arah sebaliknya, yang
seolah-olah sudah siap untuk dianal oleh siapa pun yang melihatnya.
Aku memposisikan diri seperti ini bukan untuk bermasturbasi lagi, melainkan aku ingin buang
air kecil dan mengarahkan air kencingku ke tanaman yang tepat berada di depan
selangkanganku. Maka dengan sedikit mengangkat kepalaku, aku berusaha untuk
mengeluarkan air seni dari lubang kemaluanku dan mengarahkannya ke tanaman di depanku.
Namun kencing di luar ruangan seperti ini tidaklah mudah. Seakan-akan otot sekitar
kemaluanku enggan untuk bekerja karena mereka tahu sedang berada di tempat yang tidak
seharusnya. Namun dengan terus mencoba, akhirnya aku merasakan ada sedikit air yang mulai
keluar dari lubang kemaluanku. Hingga semburan kecil akhirnya muncul dari sela-sela rambut
kemaluanku. Semburan tersebut mengarah ke atas, namun yang tidak aku prediksi, semburan
tersebut tidak jatuh ke arah yang semestinya. Sebaliknya, semburan kecil air kencingkutersebut justru mengarah ke mukaku! Air seni berwarna bening itu pun mengenai dagu dan
sisanya jatuh di atas leher dan dadaku.
Aku berhenti sejenak dan menengok ke belakang. Aku memastikan Kak Naya tidak melihat
kekonyolanku ini. Tentu aku akan malu jika Kak Naya melihat bagaimana aku mengencingi
mukaku sendiri. Namun untungnya Kak Naya tak terlihat dari posisiku. Maka setelah menyeka
cairan hangat dan berasa sedikit asin ketika ada cipratan yang masuk ke mulutku ini, aku pun
kembali melanjutkan buang airku namun kali ini aku sedikit menurunkan kedua kakiku.
Kali ini sukses. Bagaimana sebuah pancuran air bening mengalir deras dari lubang
kemaluanku, dan mendarat tepat di sebuah tanaman yang berada tepat di belakang tembok
pagar rumahku. Namun pancuran tersebut tak berlangsung lama, karena kencingku sedang
sedikit karena pagi tadi sebenarnya aku sudah mengosongkan isi kantung kemihku.
Bau pesing seketika langsung tercium. Jelas, karena aku baru saja mengencingi mukaku
sendiri. Semoga saja tanaman yang baru kukencingi ini tidak menimbulkan bau serupa karena
aku berancana untuk mengguyurnya dengan air kran. Maka setelah memastikan tidak ada lagi
air seni yang mengalir keluar dari lubang kemaluanku, aku pun segera beranjak dari posisiku.
Tak lupa aku membersihkan sisa-sisa rumput yang masih menempel pada punggung dan
pantatku sebelum akhirnya aku berpindah posisi ke sisi halaman lainnya dimana posisi kran air
dan selang berada.
Kunyalakan kran, dan mengambil ujung selang yang mulai memancarkan air. Hal pertama yang
kulakukan adalah membasahi mukaku sendiri sambil menyeka sisa air kencing yang masih
menempel di sekitaran mulutku. Lalu dilanjutkan dengan menyemprot dada dan perut hingga
akhirnya kusemprot area selangkangan dengan posisi jongkok. Meskipun terasa begitu geli,
aku tak mau berlama-lama untuk menyemprot kemaluanku karena aku tak mau hasrat ingin
masturbasi itu muncul lagi. Maka setelah membersihkan kemaluanku, aku segera menyirami
tanaman namun masih tetap dengan posisi jongkokku sekarang, hanya saja ujung selang
kuarahkan ke tanaman dari jauh. Untungnya posisiku sekarang ini terlindungi bayang-bayang
rumah sehingga aku tidak perlu takut lagi kepanasan, hanya saja aku harus tetap berjongkok
untuk mencegah badanku terlihat dari luar pagar.
Namun sebuah ide lain kembali muncul setelah aku selesai menyirami tanaman, yaitu mandi
disini. Sebenarnya aku sudah lama berencana untuk mandi di luar rumah seperti ini, dan
sepertinya saat ini adalah waktu yang cocok. Kuletakkan ujung selang yang masih
memancarkan air ke atas rumput. Aku segera masuk ke dalam rumah untuk mengambil
peralatan mandiku. Namun alih-alih mengambil peralatan mandiku di kamar mandi lantai 2, aku
memilih untuk mengambil shampo dan sabun yang kebetuan juga ada di kamar mandi lantai 1.
Ketika mengambil 2 barang tersebut, aku tidak melihat keberadaan Kak Naya, sepertinya dia
telah naik ke kamarnya di lantai 2.Sesampainya kembali di halaman depan, kembali kupungut ujung selang dan membawanya
kembali ke tengah halaman dimana aku bermasturbasi tadi. Tak peduli dengan panas terik
matahari, dengan berjongkok aku mulai mengguyur tubuhku dengan air. Kupastikan setiap centi
kulit tubuhku basah olehnya, dari ujung rambut kepalaku hingga ujung rambut kemaluanku.
Setelah tubuhku basah, aku pun mulai aktivitas mandiku seperti biasa, dimulai dengan
berkeramas. Setelah membalurkan shampo ke rambut sepanjang bahuku, aku pun mulai
meremas-remas kepalaku untuk meratakan shampo pada rambutku. Pada saat berkeramas ini,
aku iseng untuk berposisi sedikit berdiri dan melihat keadaan di luar pagar.
Jantungku mulai berdegup ketika aku melihat beberapa motor mulai melintas di depan
rumahku. Aku pun takut dan sedikit menunduk meski motor tersebut melaju sedikit kencang dan
harusnya tidak menyadari keberadaanku. Entah apa yang akan terjadi jika ada yang menyadari
jika sekarang ini ada seorang gadis yang sedang mandi di tempat seperti ini.
Selesai berkeramas, aku pun mulai menyabuni tubuhku. Sambil tetap berdiri, aku mulai
menyabuni area dada dan ketiakku. Aku sengaja berlama-lama di daerah ini hingga membuat
busa yang sangat tebal yang sengaja iseng kubuat untuk menutupi kedua putingku. Tidak ada
tujuan tertentu memang, karena meski dadaku tertutup busa sabun badanku tetap akan terlihat
telanjang.
Lalu aku pun berlanjut menyabuni area selangkangan dan pantatku. Namun tiba-tiba aku
mendengar suara langkah kaki di depan pagar. Aku pun segera berjongkok kembali dan sedikit
berpindah ke dekat pagar agar lebih tersembunyi jika dilihat dari arah luar. Tapi aku tidak tinggal
diam ketika orang tersebut lewat. Aku masih melanjutkan aktivitas mandiku dengan menyabuni
paha hingga ujung kakiku. Maka ketika aku mendengar orang tersebut berjalan menjauh dari
posisiku, kuberanikan diri untuk berdiri.
Dengan badan penuh busa sabun, aku berdiri tegak dan sedikit berjinjit. Aku sengaja
meremas-remas dadaku ke arah orang yang barusan lewat seolah-olah mengejeknya. Hal
tersebut berani kulakukan karena posisi orang tersebut berjalan membelakangiku dan mulai
menjauh dari posisiku.
Sebenarnya aku sangat menikmati kondisiku yang telanjang bulat dan berbalurkan busa sabun
di luar ruangan seperti ini, namun lama-kelamaan aku mulai kedinginan. Meski panas terik,
bukan berarti membuatku tidak kedinginan. Karena tetap saja udara dingin pagi masih
berhembus dan menerpa kulit tubuhku yang basah.
Aku pun segera membilas tubuhku dengan air, hingga tidak ada lagi sisa-sia busa sabun yang
masih menempel pada tubuhku. Sisa-sisa busa itu sekarang menggenang di atas rumput,
namun lama-lama mulai merembes ke dalam tanah.
Selesai berbilas, aku pun kembali menuju posisi kran untuk mematikan air. Pada saat itulah aku
sadar jika aku lupa membawa handuk. Namun untungnya ada handuk yang sedang dijemur diteras. Jadi aku tidak perlu takut dengan tetesan air di dalam rumah ketika aku masuk. Setelah
mengeringkan tubuhku, kugunakan handuk untuk membungkus rambutku, dan berjalan
telanjang seperti biasa ke kamarku.
Ketika sampai di lantai 2, kulihat Kak Naya masih terbaring di tempat tidurnya dengan kaki yang
masih mengangkang. Terlihat cairan putih masih sedikit mengalir dari lubang kemaluannya,
pertanda jika dia baru saja menyelesaikan masturbasinya. Dia pun menyadari kehadiranku
ketika hendak masuk ke kamarku.
"Kamu udah mandi din?" tanya Kak Naya.
"Udah" jawabku.
"Kok aku gak liat kamu masuk kamar mandi?"
"Aku mandi di bawah kok.."
"Oh... tumben..."
Aku pun masuk ke kamarku dan refleks untuk membuka lemari bajuku. Namun aku segera
sadar, kan aku tak perlu pakai baju sekarang. Maka aku pun hanya mengeringkan rambutku di
depan cermin dan memakai wewangian pada tubuhku.
****
Setelah pagi yang sangat "bermanfaat" itu, kami pun beraktifitas seperti biasanya. Mulai dari
memasak, sarapan, nonton drakor, tidur siang, dan lainnya kami lakukan dengan bertelanjang
bulat.
Hingga akhirnya sore telah tiba. Kami sama-sama kelaparan karena belum makan siang.
Namun tidak ada sisa makanan dari tadi pagi yang bisa kami makan. Sementara kami yang
sama-sama baru bangun tidur siang, merasa malas untuk memasak. Maka tak ada jalan lain
selain dengan membeli makanan di luar.
Karena kami tidak mungkin untuk beli makanan di luar dengan kondisi telanjang seperti ini,
maka sudah bisa ditebak, kami memutuskan untuk order makanan dengan ojek online. Namun
yang sedikit mengganjal, siapa yang akan mengambil makanan tersebut di pagar sambil
bertelanjang?
Kami memutuskan untuk suit untuk menentukan siapa yang akan ditugaskan dalam misi
mendebarkan ini. Dan sialnya, aku yang kedapatan untuk tugas ini.
"Udah... kamu tinggal pake jilbab aja... trus gausah buka gerbang.. tinggal ambil aja dari atas
gerbang.." jelas Kak Naya seraya menyemangatiku."Tapi kang ojeknya kan bisa aja lebih tinggi trus bisa liat ke dalam kak..." keluhku.
"Enggak enggak... kalo kamu mepetin badan kamu ke pagar, dijamin gak bakal keliatan deh...
percaya sama aku..."
Aku pun menunggu kedatangan sang ojek online dengan perasaan deg-degan. Karena walau
bagaimanapun, sesaat lagi aku akan bertemu dengan orang asing dengan keadaan tanpa
memakai baju. Namun Kak Naya terus menyemangatiku, meskipun dia sempat menawariku
agar dia saja yang mengambil pesanan itu jika aku tidak berani melakukannya. Namun aku
menolaknya, aku tetap akan mengambil pesanan tersebut. Karena aku merasa yakin akan bisa
melewati tantangan tersebut.
Singkat cerita, tukang ojek online itu pun telah sampai di depan pagar. Aku pun segera bersiap
dengan jilbab segi empat yang kupakai namun tidak kupeniti. Aku hanya memeganginya saja di
bawah daguku dengan tangan kiri. Yang penting tidak ada sedikit pun rambut kepalaku yang
terlihat, meskipun sebenarnya rambutku yang lain yang di "bawah" ini tetap saja terekspos.
Setelah mengumpulkan nyali di belakang pintu, aku pun bersiap untuk keluar rumah.
Sementara Kak Naya mengawasi dari jendela. Dengan menunduk, aku pun mulai berjalan
mengendap-endap ke arah gerbang untuk berjaga-jaga agar tidak terlihat dari luar pagar.
Setelah sampai di pagar, aku pun mulai menampakkan diri. Sang tukang ojek pun agak terkejut
karena tiba-tiba kepalaku "nongol" dari atas pagar.
"Pak, maaf lewat atas sini aja ya.." kataku sedikit gugup.
"Oh iya mbak..." jawabnya.
Jantungku makin berdegup kencang ketika tukang ojek tersebut turun dari motornya dan mulai
berjalan ke arahku. Sesuai arahan Kak Naya, aku pun memepetkan tubuhku ke pagar agar
tidak terlihat bahkan hingga kedua dadaku menempel pada pagar.
Agar mencegah bapak tukang ojeknya makin dekat dengan pagar, aku pun berinisiatif untuk
menjulurkan tanganku terlebih dulu. Maka dengan sedikit jinjit, tangan kananku kujulurkan
hingga keluar pagar, bahkan hingga ketiakku menempel pada bagian atas pagar. Tak ayal, dada
sebelah kananku pun seperti tergencet pagar karena terdorong oleh tubuhku sendiri.
Ternyata berhasil. Bapak tukang ojeknya pun tak sampai mendekat ke pagar karena dia segera
menyerahkan makanan yang dibawanya ketika tanganku meraihnya.
"Udah dibayar ya mbak.." kata si bapak ketika menyerahkan bungkusan itu padaku.
"Iya makasih ya pak...""Sama-sama mbak..." jawab si bapak begitu ramah dengan senyumannya.
Namun sebelum dia berpaling meninggalkanku, aku sempat melihat sudut matanya sedikit
melirik ke arah lenganku. Aku pun segera sadar, kalau lenganku terekspos bahkan hingga
bahuku. Memang bagian dadaku tidak terlihat, tapi tentu saja aku yakin si bapak akan
berpikiran yang tidak-tidak ketika melihat lenganku. Bagaimana tidak, aku berjilbab namun aku
mempertontonkan kulit lenganku yang harusnya tertutup oleh baju. Namun biarlah itu menjadi
rejeki buat si bapak, setidaknya aku tidak sampai mempertontonkan dadaku padanya.
Aku pun segera berlari menunduk ke arah rumah sesaat setelah menerima bungkusan
makanan ini. Sementara Kak Naya tersenyum sambil mengacungkan jempolnya kepadaku. Aku
pun juga tersenyum sendiri, karena aku merasa sukses untuk melakukan hal yang begitu
menantang ini.
"Gampang kan?" kata Kak Naya menyambutku di balik pintu.
"Gampang sih... tapi next time gantian kakak ya..." jawabku.
"Haha... yaampun sampe kotor gini" katanya sambil membersihkan debu yang menempel pada
dadaku.
"Iya nih agak sakit... tadi kegencet pager...." keluhku.
"Duh kasian.... sampe keras gini... hihihi" katanya sambil iseng memainkan jarinya pada
putingku yang mengeras karena perbuatan yang baru kulakukan.
"Ih sakit tau kak... tuh sampe merah gini..." kataku sambil menunjukkan kulit dadaku yang
sedikit merah karena bekas besi pagar.
"Hehe iyaiya... maap..." katanya seraya mengelus-elus kulit dadaku.
****
Keesokan harinya, di hari keempat ketelanjanganku ini aku terbangun dari lelapnya tidur karena
dering handphone yang tak kunjung berhenti. Namun setelah kucek, suara tersebut bukan
berasal dari handphoneku, melainkan berasal dari handphone Kak Naya di kamar sebelah. Aku
segera tahu jika suara tersebut bukanlah suara alarm. Karena selain bunyinya yang berbeda,
Kak Naya juga biasa langsung mematikan alarm tersebut sesaat setelah bangun sehingga tidak
sampai selama ini deringnya. Sudah pasti suara dering itu merupakan panggilan telepon.
Aku sempat bangkit dari tidurku, dan kudengar ada suara gemircik air di dalam kamar mandi.
Ah, mungkin Kak Naya sedang di dalam kamar mandi, pantas saja jika dia tak segera
mengangkat telepon tersebut.Sesaat kemudian suara dering itu pun berhenti, sehingga aku bisa kembali melanjutkan tidurku
dengan tenang. Namun tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara dering lagi yang kali ini berasal
dari handphoneku. Aku sempat terkejut karena posisi handphoneku yang sangat dekat dengan
telingaku. Kuraih handphone tersebut, dan kudapati ada nama Kak Chandra yang sedang
melakukan panggilan. Kenapa tiba-tiba Kak Chandra meneleponku?
"Halo?" kataku ketika mengangkat telepon tersebut.
"Halo Din... kamu lagi sama Naya?" tanya Kak Chandra di ujung telepon.
"Iya kak.. tapi kayaknya Kak Naya lagi di kamar mandi deh..."
"Ohhh pantes teleponku gak diangkat... kamu bisa kedepan bentar gak Din? Aku bawain
makanan nih..."
"Eh, depan mana kak?"
"Depan rumah... aku udah di depan rumahmu nih..." katanya.
"Eh iya kak bentar..."
"Cepet ya Din.. udah mulai panas..."
Tiba-tiba aku panik. Dan kulihat dari jendela kamarku Kak Chandra memang sudah berada di
depan gerbang. Tapi apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menemui Kak Chandra dengan
kondisi telanjang seperti ini?
"Kak...?!" aku mencoba menggedor-gedor pintu kamar mandi dimana Kak Naya masih berada
di dalamnya.
"Apa ya din?" jawab Kak Naya dari balik pintu.
"Ada Kak Chandra di depan tuh!"
"Oiya dia cuma mau nganter sarapan Din... diterima aja..." jelasnya.
"Aku yang nerima?" tanyaku lagi memastikan.
"Iya kamu aja... perutku lagi mules nih...."
"Tapi kak....""Kayak kemaren pas sama tukang ojek aja... bisa kan?" jelas Kak Naya seakan sudah tauhu
apa yang akan kutanyakan.
Sejenak ku terdiam. Kemarin aku memang sukses berinteraksi dengan tukang ojek meski tanpa
mengenakan baju. Namun apakah aku harusnya mengulanginya lagi? Dan lagi kali ini yang
harus kutemui adalah Kak Chandra. Bagaimana jika Kak Chandra tidak hanya mengirimkan
makanan, namun juga ingin mampir ke dalam rumah? Lalu apakah aku harus membukakan
pintu gerbang untuknya?
Pikiranku terus berkecamuk ketika aku mulai turun ke lantai 1. Aku harus bergegas, karena aku
tak mau membuat Kak Chandra menunggu lama. Lalu tanpa sadar aku telah berdiri di belakang
pintu rumahku. Aku seperti terhipnotis, tanpa bisa berpikir jernih akan resiko apa yang akan
kulakukan ini. Mungkin karena aku masih baru bangun tidur, kesadaranku pun belum 100%
kembali. Bahkan aku belum sempat mencuci muka dan mengikat rambutku ketika aku mulai
memberanikan diri membuka pintu rumahku.
Dari pintu rumah, Kak Chandra sudah terlihat berdiri di depan pintu gerbang dimana helmnya
sedikit terlihat dari atas pintu. Tanpa pikir panjang lagi, aku pun mengendap-endap menuju pintu
gerbang seperti yang kulakukan kemarin. Tentu aku tetap menundukkan badanku, karena bisa
saja Kak Chandra melihatku dari atas pintu.
Sampailah aku di belakang pintu gerbang rumahku dengan posisi jongkok sambil memikirkan
apa yang akan kulakukan ini. Kuputuskan untuk sedikit membuka pintu gerbang, karena aku
merasa kurang sopan jika hanya menyapa Kak Chandra lewat atas pintu.
Dengan tangan yang agak gemetar, kubuka gembok yang mengunci pintu dan sesaat kemudian
ku geser pintu tersebut hingga membuat celah selebar 10cm. Aku langsung terkejut karena
tiba-tiba kepala Kak Chandra mengintip dari celah tersebut. Aku pun menampakkan kepalaku
dari celah tersebut namun dengan badan yang menempel erat pada pintu sehingga Kak
Chandra tidak dapat melihatnya.
"Baru bangun ya?" tanya Kak Chandra tiba-tiba, mungkin dia melihat betapa kusutnya mukaku.
"Hehe iya kak.."
"Kenapa kamu ngumpet-ngumpet gitu?" tanyanya.
"Eee.. anu... soalnya Dinda lagi gak pake baju..."
"Gak pake baju?!" Kak Chandra nampak terkejut dengan jawabanku tersebut. Aku pun tidak
sadar jika aku melontarkan jawaban seperti itu.
"Eh maksudnya ga pake jilbab kak... sama lagi gak pake baju sopan... jadi takut diliat orang
nanti..." aku pun beralasan sekenanya."Ohh... tapi di luar sepi kok gak ada orang..." tanpa kusangkan Kak Chandra malah mencercaku
dengan pernyataan yang semakin membuatku bingung untuk menjawabnya.
"Ee... ya gapapa kak... pokoknya Dinda malu aja.."
"Haha yaudah... nih aku beliin sarapan buat kalian..." katanya sambil menyodorkan bingkisan
plastik di tangannya.
"Eh iya.. makasih kak..." aku pun berusaha menerima bungkusan tersebut.
"Eh gak muat din... buka dikit lagi pintunya.." tiba-tiba Kak Chandra sedikit membuka lebar pintu
gerbang. Mau tak mau badanku pun ikut bergeser agar ta terlihat olehnya. Bahkan dadaku
sedikit sakit karena terkena handle pintu yang bergeser tersebut.
"Aduh" sontak aku reflek ketika dadaku terkena gagang besi tersebut.
"Kenapa Din?" tanya Kak Chandra.
"Oh gapapa kok kak..." jawabku sambil menyembunyikan rasa sakitku.
"Oh kirain kenapa..."
"Kakak gak mau masuk kan?" tanpa sadar sebuah pertanyaan aneh terlontar dari mulutku yang
terkesan mengusirnya.
"Oh gak.. cuma mau nganter ini aja... kenapa emang?"
"Eh gak kak... soalnya kita dapet instruksi dari RT buat jangan nerima tamu dulu soalnya...
hehe"
"Oh..." jawabnya. Namun Kak Chandra terlihat aneh ketika menjawab tersebut. Karena
tatapannya seperti melihat sesuatu yang aneh di belakangku. Aku pun bingung di buatnya,
karena aku tak melihat ada sesuatu apa-apa di belakangku.
"Ada apa ya kak?" tanyaku menanyakan apa yang dilihatnya tersebut.
"Oh gapapa... aku pulang dulu ya Din..." jawabnya seketika seperti tersadar dari lamunan.
"Oh iya kak.. hati-hati... makasih buat sarapannya..."
Kulihat dia kembali menuju motornya dan melaju pergi dari depan rumahku. Aku pun segera
menutup pintu gerbang rumahku. Dan ketika aku membalikkan badan sebelum kembali di
dalam rumah, aku terkejut dengan apa yang kulihat.Aku melihat pantulan tubuh telanjangku di bagian belakang body mobil Kak Naya! Meskipun lekuk body mobil tersebut membuat pantulannya tidak sempurna, namun tetap saja terlihat sebuah pantulan warna kulit manusia di permukaannya. Lalu apakah itu yang dilihat Kak Chandra barusan? Apakah dia melihat pantulan tubuh telanjangku di mobil Kak Naya? Apakah pantulan punggung dan pantatku terlihat jelas olehnya?
Bersambung.
Labels: KISAH DINDA


0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home