Sunday, August 14, 2022

DEMI KAKAK IPAR

DEMI KAKAK IPAR

Sejak Bapak meninggal 7 tahun lalu dan Ibu meninggal 7 tahun yang lalu, aku tinggal bersama kakak sulungku, Mbak Mira. Rumah orang tuaku di Madiun terpaksa dijual.

Uangnya kami bagi bertiga, Mbak Mira, Mbak Mona, dan aku, Mila.

Rumah itu hanya laku Rp. 6,5 juta. Waktu itu aku masih kelas 3 SMA. Masing2 kebagian Rp. 2 juta, sisa Rp.500 ribu dimasukkan ke bank untuk memperbaiki makam kedua orang tua dan biaya keselamatan. Ketika menerima uang waris Rp. 2 juta, aku sengaja menyimpan Rp. 1 juta sebagai deposito di bank, sedangkan sisanya kubelikan TV. Sebab aku ingin punya TV sendiri dikamar tidurku.

Begitu lulus, aku pergi ke Sarangan bersama Anton, pacarku yang sekelas denganku. Ditempat rekreasi itulah aku memadu kasih dengan Anton.

Entah bagaimana mulanya, setelah aku dicium dan diremas-remas payudaraku, aku seperti terhipnotis dan terbuai dengan segala rayuannya, sehingga aku menuruti saja ketika Anton mengajakku memasuki kamar hotel di Sarangan, aku tidak menolaknya.Bahkan ketika di dalam kamar tidur, Anton mulai kembali dengan

cumbuannya dan remasan2 hangatnya yang benar2 membuatku tak

berdaya dan diam saja saat Anton mulai melepas satu demi satu

pakaianku.

Aku hanya bisa merasakan desah nafasku yang semakin tidak beraturan

dan seluruh tubuhku benar2 di luar kendaliku.

Saat tangan Anton semakin bergerak leluasa ke bagian2 sensitif

tubuhku, aku semakin pasrah dan menikmati seluruh kecupan hangat,

remasan2 yang luar biasa nikmatnya.

Hingga akhirnya seluruh pertahananku jebol setelah penis Anton dengan

cepatnya masuk dan merenggut keperawananku.

Namun semuanya tak kupikirkan terlalu lama karena aku benar2 sangat

menikmatinya saat penis Anton mulai bergerak maju-mundur, turun-naik,

sehingga membuat liang vaginaku mengeluarkan cairan kenikmatan.

Tubuhku terhempas ke ranjang karena puncak orgasme yang kurasakan

saat itu.

Lemas, mataku berat, dan akhirnya aku tertidur di dalam pelukan Anton

kekasihku.Noktah merah yang seharusnya kupersembahkan buat suamiku,

akhirnya keberikan lebih awal kepada Anton, pacarku sekaligus calon

suamiku kelak.

Aku ingat Anton kembali melakukan persetubuhan denganku hingga

lebih dari 3 kali pada hari itu, aku benar2 dibuat takluk dengan

keperkasaan seksualnya.

“Tak usah memikirkan keperawanan. Jaman sudah maju, manusia tidak

butuh keperawanan, melainkan kesetiaan”, kata Anton setelah berhasil

mengambil keperawananku.

Aku juga masih ingat ketika Anton memberiku uang Rp.10 ribu.

“Ini untuk beli jamu”, katanya singkat.

Hampir saja aku melempar uang itu ke wajahnya.

Tetapi Anton keburu mencium pipiku, keningku dan tengkukku sehingga

aku tidak bisa marah atas sikapnya tadi.

Benar dugaanku. Setelah peristiwa itu Anton tidak muncul2. Hampir 2

minggu aku menunggu, tak kelihatan juga batang hidungnya.

Akhirnya aku memaksakan untuk datang ke rumahnya di jalan

Borobudur.Betapa terkejutnya aku, ketika ibunya bilang Anton sudah berangkat ke

Jakarta, untuk mengadu nasib di sana.

Niat hati ingin menyampaikan masalah ini kepada ibunya bahwa aku dan

Anton telah berbuat layaknya suami istri. Tetapi mulutku tidak bisa

bersuara.

Aku hanya menahan nafas dan mengehembuskannya dalam2. Saat

paling membuatku berdebar-debar adalah saat aku

tidak mengalami menstruasi.

Aku kalut, Beberapa macam pil yang disebut orang2 bisa untuk

menggugurkan kandungan, kuminum.

Tetapi aku tetap terlambat datang bulan.

Aku makin kalut.

Apalagi aku harus hengkang dari rumah, karena rumah kami sudah laku

dijual.

Aku harus ke Surabaya, tidak ada jalan lain.

Bulan ke 2 aku lewati dengan mengurung diri di kamar di rumah Mbak

Mira, kakak sulungku.

Di rumah ini tinggal juga suaminya, Mas Sancaka, dan anak tunggalnya

Sarma, yang masih balita.

Selain itu ada pula Mas Sudrajat, adik Mas Sancaka, yang hingga kini

masih hidup membujang.Sebulan dirumah Mbak Mira, aku sudah tidak bisa menyembunyikan diri

lagi.

Ketika Mbak Mira tidur aku mengutarakan permasalahanku ini kepada

Mas Sancaka, dan berharap dia bisa memeberikan jalan keluar terbaik

bagiku.

“Besok kamu ikut aku. Kita harus menggugurkan anak haram itu”, kata

Mas Sancaka.

“Dan Mbak Mira tidak perlu tahu musibah ini”, tambahnya. “Kamu masih

punya uang simpanan?”, katanya.

“1 juta”, jawabku singkat.

“Besok pagi kita ambil, kekurangan biar aku yang tanggung”, kata Mas

Sancaka.

Keesokan harinya aku dibawa ke dokter yang ada dikawasan lokalisasi

di Surabaya.

Di tempat yang tidak terlalu luas itu, kandunganku digugurkan.

“Biayanya Rp. 1,6 juta, itu belum termasuk biaya kamar, biaya

perawatan, dan obat2an.

Siapkan saja uang sekitar Rp. 2 juta”, kata dokter yang merawatku

kepada Mas Sancaka.Aku memandangi Mas Sancaka untuk meminta reaksi atas ucapannya

tadi malam.

“Ya, Dok. Ini kami membawa uang Rp. 1 juta, nanti saya akan ambil

uang di ATM untuk melengkapi seluruh biayanya”, kata Mas Sancaka

kepada dokter, sembari melirikku.

Lega rasanya aku dibantu kakak iparku.

Aku punya harapan untuk kuliah kembali, agar jadi ‘orang’.

Uang 1 juta kuserahkan, dan dalam waktu 10 menit aku sudah tidak

sadarkan diri.

Ketika aku bangun, aku telah berada di ruangan yang sama sekali tidak

aku kenal.

Ada seorang perawat disini.

“Jangan bergerak dulu ya jeng” kata perawat itu yang kira2 berusia 40

tahun.

Kemudian dia menyeka keringatku dan meneyelimutiku dengan baju

putih.

Tak lama kemudian Mas Sancaka datang dan membawa buah-buahan

untukku.

Aku tersenyum kepadanya. Diapun membalas senyumku. Diusapnya

rambutku, dan diciumnya keningku.“Sus, meski kami menggugurkan kandungannya, tetapi kami ingin tetap

menikah.

Kami hanya merasa belum siap saja. Saya ingin Mila menjadi istri

kedua”, kata Mas Sancaka kepada perawat itu, tanpa meminta

persetujuanku kalau aku pura2 jadi WIL-nya.

Sehari kemudian aku pulang.

Tetapi tidak diijinkan untuk pulang ke rumah Mbak Mira oleh Mas

Sancaka.

Aku justru dibawanya ke hotel.

“Kenapa disini, Mas?” tanyaku.

“Kamu masih kelihatan pucat. Jangan pulang dulu, kamu tidur disini

sekitar 3 sampai 4 hari dulu, nanti baru pulang. Lagian Mas Sancaka

sudah bilang ke Mbak Mira, bahwa kamu balik ke Bandung untuk

keperluan menjenguk saudara”, katanya.

Aku mengikuti saja sarannya tsb.

Hari2 pertama Mas Sancaka bersikap sopan kepadaku, Dia tampak

mengasihiku.

Tetapi, pada hari kedua, Mas Sancaka mulai berubah, setelah

berbaringan di sebelah tubuhku, Mas Sancaka secara mengejutkan

memintaku untuk memegang ‘senjatanya’.“Aku nggak kuat, Mila. Tolong kamu pegang penisku sampai ‘keluar’,

agar kepalaku tidak pusing.

Mbakyumu sedang menstruasi.

Jadi aku tidak melakukan hubungan badan selama dua hari ini, biasanya

kami melakukannya setiap hari”, begitu kata Mas Sancaka kepadaku.

Ingin rasanya aku menolak, tetapi bagaimana lagi?

Mas Sancaka telah begitu baik kepadaku. Kupikir tidak ada salahnya

aku melakukannya sekali ini untuk membalas kebaikan2 Mas Sancaka,

Dengan malu2 aku melakukan apa yang dimintanya.

Kulihat penis Mas Sancaka masih tertidur, panjangnya lumayanlah.

Aku mulai mengusap-usap batang penis Mas Sancaka secara lembut.

Sedikit demi sedikit aku mulai melihat reaksinya, Penis Mas Sancaka

mulai mengembang dan membesar, tanganku merasakan penisnya yang

bergerak-gerak hingga akhirnya tidak bisa bergerak lagi, karena seluruh

batang penisnya telah tegang dengan sangat kerasnya.

Mas Sancaka kulihat memejamkan matanya menikmati permainan ini,

aku semakin berani untuk memainkan penisnya, kuusap, kugosokdengan jariku dan terakhir aku mulai mengocok penis Mas Sancaka

secara turun naik.

Kulihat tubuh Mas Sancaka kadang2 menggeliat merasakan

kenikamatan ini.

Sampai akhirnya tubuh Mas Sancaka mengejang, penisnya terasa

panas sekali, kulihat kepala penisnya kini berubah warnanya menjadi

sangat merah dan berdenyut-denyut.

Mas Sancaka memejamkan matanya, bibirnya seperti menggigit

menahan sesuatu yang amat luar biasa, dalam hitungan detik, tiba2 aku

melihat cairan kental menyemprot deras keluar dari batang penisnya

Mas Sancaka, cairan spermanya muncrat banyak sekali seiring dengan

itu tubuhnya berkelejat-kelejat sampai spermanya habis.

Tubuhnya jatuh lunglai dan kulihat wajah Mas Sancaka tersenyum puas.

Perlahan aku membersihkan tubuhnya yang belepotan sperma,

kubersihkan dengan perlahan sambil memijat tubuh Mas Sancaka

hingga akhirnya Mas Sancaka tertidur di ranjangku.

Di hari kedua aku benar2 tidak mampu menolak permintaannya, saat

aku sedang mandi tiba2 pintu kamar mandiku diketok oleh Mas

Sancaka.

Ketika kubuka, tiba2 Mas Sancaka menerkamku dengan buasnya.“Kalau kamu tidak melayaniku, maka kasus pengguguran ini akan

kuberitahukan kepada Mbak Mira”, ancamnya.

Maka aku tidak mampu menolak keinginannya ini.

Semalaman itu aku harus melayani Mas Sancaka ronde demi ronde.

Sejak saat itu aku semakin tidak punya keberanian untuk menolak

keinginan Mas Sancaka untuk mencicipi kehangatan tubuhku yang

masih sintal, dan rapatnya liang vaginaku, karena aku memang belum

pernah melahirkan.

Perbuatannya ini tidak hanya dilakukan di hotel saja, tetapi sudah mulai

berani dilakukan di rumah Mbak Mira.

Hampir Setiap tengah malam menjelang pukul 3 pagi, Mas Sancaka

selalu mengendap-endap menuju kamarku dan mengetuk kamar tidurku

untuk meminta jatahnya.

Karena aku takut suatu waktu akan ketahuan akibat Mas Sancaka

mengetuk pintuku maka aku setiap tidur tidak pernah mengunci kamar

tidurku.

Yang membuatku semakin tertekan adalah, pada suatu hari tubuhku

serasa tertindih sesuatu, ketika aku membuka mataku alangkah

kagetnya aku, karena yang menindih tubuhku adalah Mas Sudrajat, adik

Mas Sancaka.Aku ingin berteriak, tetapi Mas Sudrajat menutup mulutku sambil

mengancam “Awas, kamu tidak perlu berteriak, Jika tidak saya akan

melaporkan perselingkuhan kamu dengan Mas Sancaka kepada Mbak

Mira.

Aku telah mengetahui kejadian ini sejak minggu lalu, lalu apa salahnya

jika kamu melakukannya kepadaku juga”, ancamnya.

Sejak saat itu aku menilai Mas Sudrajat sama bejatnya dengan Mas

Sancaka.

Hingga hampir setiap hari aku melayani dua pria.

Antara pukul 12 malam sampai pukul 1.30 pagi aku melayani Mas

Sudrajat, dan Antara pukul 3 pagi sampai pukul 4 pagi aku harus

bergumul dengan Mas Sancaka.

Tubuhku benar2 sebagai pelampiasan nafsu kedua saudara iparku.

Bahkan menurutku Mas Sudrajat adalah orang paling bejat didunia, ia

bahkan menceritakan perselingkuhan kami kepada Mas Suwono yang

tinggal di jakarta.

Ketika suatu saat Mas Suwono menginap di rumah Mbak Mira.

Dia tidak tidak sungkan2 masuk kekamarku malam hari bersama dengan

Mas Sudrajat untuk kembali merasakan kehangatan tubuhku.

Malah pernah suatu kali ketiganya berkumpul dikamarku dan benar2

menguras seluruh tenagaku, hingga aku pernah pingsan menahankenikmatan yang tanpa hentinya dari ketiga saudara iparku yang

menggilirku secara bergantian.

Hingga akhirnya puncak dari seluruh kenikmatan tersebut adalah

kelelahan yang luar biasa, aku knock out alias KO!

Lebih celaka lagi ketika suatu saat Mbak Mira datang kekamarku dan

menemukan CD suaminya ada dikamarku Aku sangat yakin Mbak Mira

mengetahui kalu suaminya sering masuk ke kamarku.

Mbak Mira hanya diam saja. Dia hanya melemparkan CD suaminya itu

kewajahku.

Dan sejak itulah Mbak Mira jarang mengajakku bicara. Ketika

kuceritakan kepada Mas Sancaka, Diluar dugaan dia berkata, “Mila,

Mbak Mira sudah tidak kuat lagi melayani nafsuku, pernah kusampaikan

aku punya pacar seorang janda muda, dia diam saja”, kata Mas

Sancaka.

Aku tercenung. Napasku terasa berhenti di tenggorokan. Kasihan Mbak

Mira.

Tetapi siapa yang menaruh rasa belas kasihan kepadaku?

Aku telah melayani nafsu biadab ketiga saudara iparku. Ingin rasanya

aku lari minggat dari rumah Mbak Mira.Tetapi kemana aku harus menetap?

Aku tidak ingin menjadi seorang Wanita Tuna Susila, dan aku sudah tidak memiliki uang pula untuk menyambung hidup jika aku minggat. Sampai akhirnya sedikit demi sedikit keberanianku benar-benar hilang sama sekali.

Dan hingga sampai kini aku masih harus tetap melayani nafsu binatang ketiga lelaki iparku.

T A M A T 

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home